Rabu, 16 Oktober 2013

Lembaga Peradilan dan Putusan Rasa Politisi

Indonesia kembali tercengang oleh operasi tangkap tangan yang dilakukan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Rabu (2/10). Lembaga Negara pimpinan Abraham Samad ini, menangkap Akil mochtar, Ketua Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia (MK-RI). Akil Mochtar digelandang KPK atas dugaan penyuapan dalam perkara pemilukada Kabupaten Gunung Mas, Kalimantan Tengah dan pemilukada Kabupaten Lebak, Banten.
Apa yang dilakonkan oleh Abraham Samad Cs Rabu malam, seakan menjadi tamparan hebat buat institusi penegakan hukum yang berdiri sepuluh tahun silam ini. Betapa tidak, MK yang dulunya terkenal lembaga Negara yang bersih dan cenderung aman dari terpaan isu miring, kini dibuat bertekuk lutut oleh sebuah lembaga Negara Ad-Hoc bernama KPK. Salah satu kewenangan yang ditengarai dapat menjadi celah oleh para “wayang” dalam tubuh MK adalah, kewenangan untuk memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum.
Putusan MK yang notabene final dan mengikat semakin membuka celah untuk melakukan praktik busuk, dan salah satunya yang baru saja dilakonkan oleh Ketua MK sendiri berupa suap yang diduga diterimanya dari salah satu pihak yang berperkara di MK. Terungkapnya praktik suap yang terjadi di MK semakin menambah citra buruk institusi penegakan hukum negeri ini. Sebelum kasus Akil, ada kasus simulator di tubuh POLRI, insiden calon “hakim agung rasa toilet” yang sedang mengikuti tahapan fit and proper test di DPR, serta sebelumnya juga ada Arsyad Sanusi, Hakim MK yang mundur karena diputus bersalah oleh komite etik dalam perkara hasil pemilukada yang melibatkan keluarganya.
Entah sampai kapan badai terus melanda institusi penegakan hukum negeri ini. Namun jika berkaca pada proses pemilihan hakim agung pada Mahkamah Agung dan Hakim Konstitusi pada MK yang terus saja bersentuhan dengan para politisi di Senayan (anggota DPR) maka saya akan terus merasa pesimis dunia penegakan hukum negeri ini akan sesuai dengan apa yang diharapkan.
Hakim agung yang dipilih oleh anggota DPR dengan kedok fit and proper test, serta semakin banyaknya orang-orang parpol yang menduduki kursi pengadil pada lembaga the guardian of constitution (MK, red), maka semakin besar peluang untuk terciptanya praktek busuk dalam institusi peradilan kita. Namun, bukan berarti tiada jalan untuk mengembalikan kembali roh penegakan hukum kita beserta citra para “wayang†di dalamnya. Suatu hal yang paling mendasar yang perlu diperbaiki oleh para penegak hukum kita adalah moral.
Moral harus diperbaiki sejak dini sebelum akhirnya nanti terjerumus dan menjadi parasit dalam institusi penegakan hukum kita. Selain moral yang perlu diperbaiki, tentunya sistem pengangkatan hakim agung pada MA dan hakim konstitusi pada MK perlu ditinjau ulang. Hal ini karena, mengacu pada sistem pengangkatan hakim agung dan hakim konstitusi yang telah memunculkan isu hakim rasa politisi. Bukan tidak mungkin suatu saat putusan yang dikeluarkan nantinya akan berbau politisi yang sarat akan kepentingan. Masalah moral dan sistem tentunya merupakan dua hal yang sangat urgen untuk diperbaiki saat ini, apabila tak ingin melihat penegakan hukum negeri ini semakin terpuruk.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar