Indonesia
kembali tercengang oleh operasi tangkap tangan yang dilakukan oleh
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Rabu (2/10). Lembaga Negara pimpinan
Abraham Samad ini, menangkap Akil mochtar, Ketua Mahkamah Konstitusi
Republik Indonesia (MK-RI). Akil Mochtar digelandang KPK atas dugaan
penyuapan dalam perkara pemilukada Kabupaten Gunung Mas, Kalimantan
Tengah dan pemilukada Kabupaten Lebak, Banten.
Apa
yang dilakonkan oleh Abraham Samad Cs Rabu malam, seakan menjadi
tamparan hebat buat institusi penegakan hukum yang berdiri sepuluh tahun
silam ini. Betapa tidak, MK yang dulunya terkenal lembaga Negara yang
bersih dan cenderung aman dari terpaan isu miring, kini dibuat bertekuk
lutut oleh sebuah lembaga Negara Ad-Hoc bernama KPK. Salah satu
kewenangan yang ditengarai dapat menjadi celah oleh para “wayang” dalam
tubuh MK adalah, kewenangan untuk memutus perselisihan tentang hasil
pemilihan umum.
Putusan
MK yang notabene final dan mengikat semakin membuka celah untuk
melakukan praktik busuk, dan salah satunya yang baru saja dilakonkan
oleh Ketua MK sendiri berupa suap yang diduga diterimanya dari salah
satu pihak yang berperkara di MK. Terungkapnya praktik suap yang terjadi
di MK semakin menambah citra buruk institusi penegakan hukum negeri
ini. Sebelum kasus Akil, ada kasus simulator di tubuh POLRI, insiden
calon “hakim agung rasa toilet” yang sedang mengikuti tahapan fit and
proper test di DPR, serta sebelumnya juga ada Arsyad Sanusi, Hakim MK
yang mundur karena diputus bersalah oleh komite etik dalam perkara hasil
pemilukada yang melibatkan keluarganya.
Entah
sampai kapan badai terus melanda institusi penegakan hukum negeri ini.
Namun jika berkaca pada proses pemilihan hakim agung pada Mahkamah Agung
dan Hakim Konstitusi pada MK yang terus saja bersentuhan dengan para
politisi di Senayan (anggota DPR) maka saya akan terus merasa pesimis
dunia penegakan hukum negeri ini akan sesuai dengan apa yang diharapkan.
Hakim
agung yang dipilih oleh anggota DPR dengan kedok fit and proper test,
serta semakin banyaknya orang-orang parpol yang menduduki kursi pengadil
pada lembaga the guardian of constitution (MK, red), maka semakin besar
peluang untuk terciptanya praktek busuk dalam institusi peradilan kita.
Namun, bukan berarti tiada jalan untuk mengembalikan kembali roh
penegakan hukum kita beserta citra para “wayang†di dalamnya. Suatu
hal yang paling mendasar yang perlu diperbaiki oleh para penegak hukum
kita adalah moral.
Moral
harus diperbaiki sejak dini sebelum akhirnya nanti terjerumus dan
menjadi parasit dalam institusi penegakan hukum kita. Selain moral yang
perlu diperbaiki, tentunya sistem pengangkatan hakim agung pada MA dan
hakim konstitusi pada MK perlu ditinjau ulang. Hal ini karena, mengacu
pada sistem pengangkatan hakim agung dan hakim konstitusi yang telah
memunculkan isu hakim rasa politisi. Bukan tidak mungkin suatu saat
putusan yang dikeluarkan nantinya akan berbau politisi yang sarat akan
kepentingan. Masalah moral dan sistem tentunya merupakan dua hal yang
sangat urgen untuk diperbaiki saat ini, apabila tak ingin melihat
penegakan hukum negeri ini semakin terpuruk.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar