ANALISA UNDANG UNDANG NO 8 TAHUN 1999 TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN DALAM TRANSAKSI ELEKTRONIK (E-COMMERCE)
posting by retno ellys
BAB I
PENDAHULUAN
1. Latar Belakang Permasalahan
Seiring dengan berkembangnya
perekonomian global dunia, pelaku usaha berlomba- lomba bersaing untuk
memperoleh keuntungan. Salah satu upaya konkret yang dilakukan untuk
memperoleh keuntungan tersebut adalah melalui transaksi bisnis
elektronik di dunia maya atau disebut e-commerce.
Menurut Kalakota dan Whinston (1997) mendefinisikan EC dari berbagai perspektif antara lain:
Dari perpektif komunikasi, EC
merupakan pengiriman informasi produk/ layanan, atau pembayaran melalui
lini telepon, jaringan computer atau sarana elektronik lainnya.
Dari perpektif proses bisnis, EC merupakan aplikasi teknologi menuju otomatisasi transaksi dan aliran kerja perusahaan
Dari perpektif layanan, EC merupakan
suatu alat yang memenuhi keinginan perusahaan, konsumen, dan manajemen
dalam memangkas service cost ketika meningkatkan mutu barang dan
kecepatan pelayanan.
Dari perspektif online, EC kapasitas jual beli produk dan informasi di Internet dan jasa online lainnya.
Dalam penerapannya, transaksi jual beli melalui e-commerce banyak
dilakukan oleh pelaku usaha sebagai pengedar barang/ jasa dan konsumen
sebagai pengguna layanan barang atau jasa memiliki beberapa alasan
manfaat dalam penggunaan e-commerce antara lain:
1. Dapat meningkatkan market exposure (pangsa pasar)
2. Menurunkan biaya operasional (operating cost).
3. Melebarkan jangkauan (global reach)
4. Meningkatkan costumer loyalty
5. Meningkatkan supply management
6. Memperpendek waktu produksi[1]
Dengan alasan- alasan praktis tersebut, e-commerce dianggap
mampu memberikan kemudahan kepada pelanggan untuk berbelanja atau
melakukan transaksi selama 24 jam sehari dari tempat, jarak, dan waktu
yang tidak terbatas. Aplikasi e-commerce tidak hanya dilakukan mulai
pada sector ekonomi dan perdagangan, tetapi juga masuk ke sector ilmu
pengetahuan dan pendidikan, politik, social, budaya, hukum, pertahanan,
dan keamanan.
E-commerce memberikan
kemanjaan yang luar biasa kepada konsumen, karena konsumen tidak perlu
keluar rumah untuk berbelanja. Disamping itu pilihan barang/ jasapun
beragam dengan harga yang relative lebih murah. Hal ini menjadi
tantangan positif dan sekaligus negative. Dikatakan positif karena
kondisi tersebut dapat memberikan manfaat bagi konsumen untuk memilih
secara bebas barang/ jasa yang diinginkannya. Konsumen memiliki
kebebasan untuk menentukan jenis dan kualitas barang/ jasa sesuai dengan
kebutuhannya. Dikatakan negatif karena kondisi tersebut menyebabkan
posisi konsumen menjadi lebih lemah daripada posisi pelaku usaha.[2]
Dengan mudahnya transaksi jual beli
antara pelaku usaha dengan konsumen, maka diperlukan perjanjian antara
pihak pelaku usaha dengan konsumen. Dimana dalam pasal 1313 KUH Perdata
menyebutkan bahwa “suatu perjanjian adalah suatu perbuatan yang
dilakukan oleh satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu
orang lain atau lebih. Hal ini ditegaskan dengan pengertian perjanjian
menurut Sudikno Mertokusumo bahwa perjanjian adalah hubungan hukum
antara dua belah pihak atau lebih berdasarkan kata sepakat untuk
menimbulkan akibat hukum. Dua pihak itu sepakat untuk menentukan
peraturan atau kaedah hukum atau hak kewajiban yang mengikat mereka
untuk ditaati dan dijalankan. Kesepakatan itu menimbulkan akibat hukum
dan bila kesepakatan dilanggar maka akibat hukumnya si pelanggar dapat
dikenakan akibat hukum atau sanksi.[3]
Permasalahan yang terjadi dalam transaksi jual beli e-commerce banyak
ditunjukkan dengan pelaku usaha yang tidak memberikan kewajibannya
kepada konsumen dalam bertransaksi. Menurut pasal 1234 KUH Perdata,
tahap ini adalah ditunjukkan dengan adanya wanprestasi yaitu tidak dapat
dipenuhinya kewajiban dalam perjanjian yang dapat disebabkan oleh dua
kemungkinan sebagai berikut :[4]
1. Debitur
sama sekali tidak memenuhi perjanjian; debitur tidak memenuhi kewajiban
yang telah disanggupinya untuk dipenuhi dalam suatu perjanjian atau
tidak memenuhi kewajiban yang ditetapkan oleh undang- undang
2. Debitur
terlambat memenuhi perjanjian; debitur memenuhi prestasi tetapi tidak
tepat waktu, waktu yang ditetapkan dalam perjanjian tidak dipenuhi
3. Debitur
keliru memenuhi prestasi; debitur melaksanakan atau memenuhi apa yang
diperjanjikan atau apa yang ditentukan oleh undang- undang tetapi tidak
sebagaimana mestinya menurut kualitas yang telah ditentukan dalam
perjanjian atau yang telah ditetapkan oleh undang –undang
4. Debitur melakukan sesuatu yang menurut perjanjian atau tidak boleh dilakukan
Untuk memberikan perlindungan yang
berasaskan manfaat, keadilan, keseimbangan, keamanan dan keselamatan,
serta kepastian hukum terhadap konsumen sebagai pengguna barang/ jasa,
maka dibentukan Undang- Undang Nomor 8 tahun 1999 tentang Perlindungan
Konsumen yang dijelaskan dalam pasal 1 ayat (1) UUPK menyebutkan bahwa
“Perlindungan konsumen adalah segala upaya yang menjamin adanya
kepastian hukum untuk memberikan perlindungan kepada konsumen”.
2. Rumusan Permasalahan
Berdasarkan latar belakang
permasalahan diatas, dapat penulis rumuskan beberapa permasalahan yang
dituangkan dalam beberapa pertanyaan ilmiah antara lain:
1. Bagaimanakah permasalahan hukum dalam transaksi elektronik (e-commerce) yang berlangsung saat ini di Indonesia?
2. Bagaimanakah perspektif UU No. 8/1999 tentang perlindungan konsumen dalam penyelesaian sengketa hukum perlindungan konsumen?
BAB II
PEMBAHASAN
1. Permasalahan hukum dalam transaksi elektronik (e-commerce) yang berlangsung di Indonesia
Berbicara mengenai permasalahan
transaksi elektronik, berarti kita berbicara mengenai Undang- undang No.
11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE).
Julian Ding dalam bukunya E-Commerce : Law and Office mendefinisikan e-commerce sebagai berikut :
“Electronic or e-commerce as it is
also known is a commercial transanction between a vendor and purchase or
parties in similar contractual relationship for the supply of goods,
services or acquisition of right. This commercial transaction is
executed or entered into electronic medium or digital medium where the
physical presence of parties is not required and medium exist in a
public network or sistem as opposed to private network (closed system).
The publis network sistem must considered on open sistem (e.g the
internet our world wibe web). The transaction concluded regardless of
nation boundaries or local requairment”.[5]
Menurut Julian Ding yang
ditransformasikan ke dalam bahasa Indonesia, ecommerce merupakan suatu
transaksi komersial yang dilakukan antar penjual dan pembeli atau dengan
pihak lain dalam hubungan perjanjian yang sama untuk mengirimkan
sejumlah barang, pelayanan atau peralihan hak. Transaksi komersial ini
terdapat di dalam media elektronik (media digital) yang secara fisik
tidak memerlukan pertemuan para pihak yang bertansaksi dan keberadaan
media ini di dalam public network atau sistem yang berlawanan dengan
private network (sistem tertutup).
Dari definisi tersebut, e-commerce memiliki
karakteristik yaitu adanya transaksi antar dua belah pihak, adanya
pertukaran barang jasa atau informasi, dan internet merupakan medium
utama dalam proses atau mekanisme perdagangan. Hal ini ditegaskan dengan
Didik M. Arief Mansur dan Elisatris Gultom dalam bukunya “Cyber Law:
Aspek Hukum Teknologi Informasi” mengidentifikasikan pihak- pihak yang
terlibat dalam transaksi e- commerce terdiri dari : [6]
1. Penjual (merchant),
yaitu perusahaan/ produsen yang menawarkan produknya melalui internet.
Untuk menjadi merchant, maka seseorang harus mendaftarkan diri sebagai
merchant account pada sebuah bank, tentunya ini dimaksudkan agar
merchant dapat menerima pembayaran dari customer dalam bentuk credit
card.
2. Konsumen/ card holder, yaitu orang- orang yang ingin memperoleh produk (barang/ jasa) melalui pembelian secara online.
Konsumen yang akan berbelanja di internet dapat berstatus perorangan
atau perusahaan. Apabila konsumen merupakan perorangan, maka yang perlu
diperhatikan dalam transaksi e-commerce adalah bagaimana sistem pembayaran yang digunakan, apakah pembayaran dilakukan dengan mempergunakan credit card atau dimungkinkan pembayaran dilakukan secara manual/ cash.
Hal ini penting untuk diketahui, mengingat tidak semua konsumen yang
akan berbelanja di internet adalah pemegang kartu kredit. Pemegang kartu
kredit adalah orang yang namanya tercetak pada kartu kredit yang
dikeluarkan oleh penerbit berdasarkan perjanjian yang dibuat.
3. Acquirer,
yaitu pihak perantara penagihan (antara penjual dan penerbit) dan
perantara pembayaran (antara pemegang dan penerbit). Perantara pengaihan
adalah pihak yang meneruskan penagihan kepada penerbit berdasarkan
tagihan yang masuk kepadanya yang diberikan oleh penjual barang/ jasa.
Pihak perantara pembayaran antara pemegang dan penerbit adalah bank
dimana pembayaran kartu kredit dilakukan oleh pemilik kartu kredit/ card holder, selanjutnya bank yang menerima pembayaran ini akan mengirimkan uang pembayaran tersebut kepada penerbit kartu kredit.
4. Issuer,
yaitu perusahaan credit card yang menerbitkan kartu. Di Indonesia ada
beberapa lembaga yang diijinkan untuk menerbitkan kartu kredit, yaitu:
a. Bank dan lembaga keuangan bukan bank. Tidak semua bank dapat menerbitkan credit card, hanya bank yang telah memperoleh ijin dari card international, dapat menerbitkan credit card, seperti Master dan Visa card.
b. Perusahaan
non bank dalam hal ini PT. Dinner Jaya Indonesia International yang
membuat perjanjian dengan perusahaan yang ada di luar negeri.
c. Perusahaan yang membuka cabang dari perusahaan induk yang ada di luar negeri, yaitu American Express.
5. Certification Authorities yaitu
pihak ketiga yang netral yang memegang hak untuk mengeluarkan
sertifikasi kepada merchant, kepada issuer dan dalam beberapa hal
diberikan kepada card holder.Apabila transaksi e-commerce tidak
sepenuhnya dilakukan secara online dengan kata lain hanya proses
transaksinya saja yang online sementara pembayaran tetap dilakukan
secara manual/ cash, maka pihak acquirer, issuer dan certification authority tidak
terlibat di dalamnya. Disamping pihak- pihak tersebut diatas, pihak
lain yang keterlibatannya tidak secara langsung dalam transaksi e- commerce yaitu jasa pengiriman (ekspedisi).
Dari definisi tersebut,
dapat dianalogikan bahwa dalam setiap transaksi jual beli antara pelaku
usaha dengan konsumen dilakukan suatu perjanjian yang menurut pasal 1313
KUHPerdata adalah suatu persetujuan adalah suatu perbuatan dengan mana 1
(satu) orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap 1 (satu) orang
lain atau lebih.
Pengertian perjanjian
diatas belumlah lengkap dan terlalu luas, belum lengkap karena perumusan
diatas hanya mengenai perjanjian sepihak saja dan dikatakan terlalu
luas karena cakupan rumusan diatas bias saja keluar dari maksud
perjanjian dalam KUH Perdata yakni pada lapangan hukum kekayaan.
Sehingga pasal 1313 KUHPerdata tidak dapat diajukan acuan dalam
memperoleh pengertian perjanjian.[7]Sementara
menurut Abdulkadir Muhammad SH, perjanjian adalah suatu persetujuan
dengan mana dua orang atau lebih saling mengikatkan diri untuk
melaksanakan suatu hal mengenai harta kekayaan. [8]
Untuk sahnya perjanjian diperlukan 4 syarat sebagaimana yang disebut dalam pasal 1320 KUHPerdata yakni:
1. Sepakat mereka untuk mengikatkan dirinya
2. Capak untuk membuat suatu perikatan
3. Suatu hal tertentu
4. Suatu sebab yang halal
Kaitannya dengan transaksi e- commerce antara pihak e-merchant (pihak yang menawarkan barang atau jasa melalui internet) dengan e-customer (pihak
yang membeli barang atau jasa melalui internet) yang terjadi di dunia
maya atau di internet pada umumnya berlangsung secara paperless
transaction, sedangkan dokumen yang digunakan dalam transaksi tersebut
bukanlah paper document, melainkan dokumen elektronik (digital document).[9]
Kontrak online dalam e-commerce menurut
Santiago Cavanillas dan Amartines Nadal, seperti yang dikutip oleh
Arsyad Sanusi memiliki banyak tipe dan variasi berdasarkan sarana yang
digunakan untuk membuat kontrak, yaitu :
1. Kontrak melalui chatting dan video conference
2. Kontrak melalui e-mail
3. Kontrak melalui web
Bilamana kita kaitkan dengan
permasalahan penegakan hukum dalam transaksi e-commerce di
Indonesia, berdasarkan Penjelasan umum atas Undang-undang Republik
Indonesia Nomor 8 Tahun 1999 disebutkan bahwa faktor utama yang menjadi
kelemahan konsumen dalam perdagangan adalah tingkat kesadaran konsumen
masih amat rendah yang selanjutnya diketahui terutama disebabkan oleh
rendahnya pendidikan konsumen. Hal ini diperlukan suatu upaya serius
dari pemerintah untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia
Indonesia mengenai sosialisasi peraturan hukum dan pengetahuan dalam
transaksi e- commerce yang sebagaimana untuk mencegah terjadinya
perkembangan pidana dalam transaksi e-commerce yang berlangsung di dunia
maya tersebut.
Permasalahan tersebut berhubungan dengan permasalahan yang dikemukakan oleh Karim Benyekhlef berikut ini:
“…Yet, one cannot claim to fully
comprehend and understand this phenomenon if one reduces it to only
technical component. Obviously the latter might seem much more
spectacular than its legal counterpart. However regardless of how
impressive electronic highways may become, it remains undeniable that
their integration and acceptance in the social and economic fabric will
be dependent notably on the legal guarantees the can provide. I the
other words, the consumer will only be inclined to use these new
services if they can offer a degree of legal security comparable to that
provided in the framework of traditional operations….”
Apabila diartikan ke dalam bahasa
Indonesia, menurut Karim Benyekhlef bahwa seseorang tidak dapat
dikatakan sudah memahami betul fenomena mengenai dunia maya apabila
pemahamannya hanya terbatas pada unsur- unsur teknik saja dari dunia
maya itu, dan belum menyadari tentang masalah- masalah hukum dari dunia
maya itu.
Selain itu, konsumen ternyata tidak
memiliki posisi tawar (bargaining position) yang berimbang dengan pihak
pelaku usaha. Hal ini terlihat sekali pada perjanjian baku yang siap
untuk ditandatangani dan bentuk klausula baku atau ketentuan baku yang
tidak informative dan tidak bisa ditawar lagi.[10]
Contoh kasus terkait dalam transaksi jual beli melalui e- commerce adalah dalam permasalahan pembayaran transaksi e-commerce yang menggunakan change card atau credit card. Dari sini timbul permasalahan hukum, apakah pembayaran yang dilakukan dengan charge card/ credit card merupakan
pembayaran mutlak, ataupun pembayaran bersyarat kepada penjual barang.
Permasalahan tersebut muncul jika pemegang kartu (card holder) menolak bertanggung jawab atas pelaksanaan pembayaran atas beban charge card/ credit card miliknya
dengan berbagai alasan. Misalnya, karena alasan barang yang dibeli
mengandung cacat, ataupun karena alasan nomor kartu kredit tersebut
dipergunakan oleh orang yang tidak berhak dengan cara membelanjakannya
di berbagai virtual store di Internet.[11]
Bahkan, praktisi teknologi informasi
(TI) Roy Suryo pernah menyebutkan sejumlah warnet (warung internet) di
Yogyakarta menyediakan sejumlah nomor kartu kredit yang dapat
dipergunakan para pelanggannya untuk berbelanja di took maya tersebut.
Terlabih lagi sumber hukum online menyebutkan, indikasi penggunaan kartu kredit secara tidak sah seperti itu terjadi pula di sejumlah warnet di Depok.[12]
Permasalahan lain, apakah pemegang kartu kredit (card holder) mempunyai hak untuk membatalkan pembayaran yang telah dilakukannya, dengan meminta supaya perusahaan penerbit kartu (card issuer) tidak melaksanakan pembayaran atas tagihan yang dilakukan oleh pedagang yang menerima pembayaran dengan kartu.[13]
Wakil Ketua Kompartemen Telematikan
Kadin, Romzy Alkateri, pernah mengungkapkan pengalamannya. Ia pernah
ditagih beberapa kali atas suatu transaksi jasa hosting yang
dilakukannya dengan sebuah penyedia web hosting di luar negeri. Padahal,
ia mengaku sudah membayar jasa hosting tersebut dengan menggunakan
kartu kredit. Lebih jauh lagi, ia pun beberapa kali meminta pihak issuer
untuk tidak melakukan pembayaran tersebut karena merasa tidak melakukan
transaksi jasa hosting lebih dari satu kali.[14]
Dari berbagai kasus penipuan kartu kredit seperti di atas, tentunya selain pihak card holder pihak merchant juga akan dirugikan. Apabila card holder menyangkal telah melakukan transaksi menggunakan charge card/ credit card melalui internet, maka pihak issuer tidak akan melakukan pembayaran, baik kepada merchant ataupun pihak jasa payment services.
Di Amerika, biasanya untuk sejumlah nilai transaksi tertentu, kerugian
tersebut ditanggung secara bersama oleh merchant dan pihak jasa payment services.[15]
Permasalahan penggunaan e-commerce dari segi penggunaan domain name dapat
terlihat dari contoh kasus yang dialami oleh Panavision sebagaimana
dalam perkara yang diputuskan oleh pengadilan banding 9 Circuit di Amerika Serikat pada tahun 1998, yaitu putusan perkara Panavision International, L.P v Toeppen. Dalam perkara gugatan tersebut, Panavision menuduh Toeppen sebagai cyber- pirate, atau perompak di dunia cyber. Cyber pirate adalah
pihak yang memuat berbagai domain name di internet, dan kemudian
menjual domain name tersebut kepada pihak yang seharusnya memiliki
domain name tersebut. Gugatan yang diajukan oleh Panavision ialah bahwa
Toeppen telah mendaftarkan trademark (merek dagang dari
Panavision) sebagai domain name dari Toeppen, yaitu Panavision.com.
Ketika Panavision menemukan hal tersebut, Toeppen telah berusaha agar
Panavision menyelesaikan masalah tersebut dengan membayar kepadanya uang
sebesar US $ 13.000 sebagai pengganti dari domain name tersebut.[16]
Permasalahan lain penggunaan e-commerce dilihat
perpektif alat pembuktian dapat dirasakan manakala pada transaksi-
transaksi yang tradisional, segala sesuatunya dilaksanakan dengan
menggunakan dokumen kertas. Dengan kata lain, transaksi- transaksi
tersebut merupakan paper- based transaction. Apabila terjadi sengketa di
antara para pihak yang bertransaksi, maka dokumen- dokumen kertas
itulah yang akan diajukan sebagai bukti oleh masing- masing pihak untuk
memperkuat posisi hukum masing- masing. Hal ini berbeda sekali dengan
transaksi e-commerce. Transaksi e-commerce adalah paperless transaction.
Dokumen- dokumen yang dipakai bukanlah paper document tetapi digital
document. Seperti dikemukakan oleh Toh See Kiat, bahwa sampai bukti
tersebut di ‘Printed out” di dalam hard copy, bukti dari suatu computer
mudah sekali menghilang, mudah diubah tanpa dapat dilacak kembali, tidak
berwujud, dan sulit dibaca.[17] Dengan
kata lain, sumber atau otentikasi dari bukti yang diterima apabila
tidak dilakukan print-out tidak dapat dikatakan menjadi alat bukti yang
sah dan tidak terbukti kebenarannya.
Internet telah menimbulkan masalah
baru di bidang Hak Atas Kekayaan Intelektual (HAKI), copyright,
trademark, patent, trade secret, dan moral right sangat terpengaruh oleh
Internet. Internet memiliki beberapa karakteristik teknis yang membuat
masalah- masalah HAKI tumbuh dengan subur.[18] Salah
satu masalah yang timbul adalah berkaitan dengan pembajakan Hak Cipta.
Sebagai contoh dapat dikemukakan apa yang terjadi di Thailand, yaitu
mengenai pembajakan mapping products yang dikembangkan oleh Loxely
Technology Ltd (Loxtech) yang telah dibajak oleh Thaimapguide.com.[19]
Perekonomian Internet akan berdampak
pada kehidupan ekonomi dalam beberapa aspek. Antara lain adalah dampak
dari transparannya harga- harga yang dipasarkan melalui internet. Para
konsumen melalui Internet mampu untuk membangingkan harga suatu barang
yang sama di suatu Negara, tetapi juga di beebrapa Negara di luar Negara
konsumen yang bersangkutan. Misalnya harga CD yang ditawarkan dan
dijual di Indonesia dapat dibandingkan oleh konsumen Indonesia dengan
harga CD yang ditawarkan di Amerika Serikat. Calon pembeli tentunya akan
membeli barang yang lebih murah. Sudah barang tentu calon pembei
tersebut harus memperhitungkan harga barang tersebut dengan ditambah
biaya pengirimannya. Pembelian barang dari luar negeri akan menimbulkan
dampak terhadap penerimaan pajak. Di Eropa hal ini telah timbul sebagai
masalah yang cukup signifikan berkenaan dengan penerimaan pajak
pertambahan nilai (value-added tax).[20]
Selain itu, pada Internet, e-mail tidak bersifat pribadi dan juga tidak terlindung secara aman. Kebanyakan pengguna beranggapan bahwa berkomunikasi melalui e-mail tidak
bersifat pribadi. Catatan- catatan suatu email dicatat masing- masing
pada server pengirim dan server penerima. Di Amerika catatan tersebut
dapat dipakai sebagai bukti di muka pengadilan. Hal ini pernah terjadi
pada pengadilan kasus Oliver North dan Rodney King.[21] Penghapusan
catatan email tidak membuat terhapusnya catatan tersebut. Backup tapes
yang biasanya ada pada server, tetap mencatat isi pesan email itu, baik
yang dihapus maupun yang tidak dihapus.[22]
Permasalahan lain terkait e-commerce dalam perspektif hukum (choice of law) timbul
apabila suatu perselisihan yang menyangkut suatu transaksi e-commerce
di antara orang- orang atau badan- badan hukum yang berkedudukan di
Indonesia dan transaksi itu berlangsung di Indonesia, sedangkan untuk
transaksi tersebut para pihak sebelumnya tidak membuat perjanjian di
antara mereka, maka masih mudah bagi hakim untuk menentukan atau bagi
para pihak untuk melakukan kesepakatan di kemudian hari setelah
timbulnya perselisihan itu, agar perselisihan tersebut diselesaikan
menurut hukum Indonesia. Namun bagaimanakan halnya apabila transaksi e-commerce tersebut
berlangsung di antara pihak- pihak yang merupakan penduduk dua Negara
yang berbeda? Sebagai contoh misalnya, took buku Gramedia di Jakarta
memesan buku- buku dari Amazon.com di Amerika Serikat melalui Internet,
ternyata kemudian buku- buku dari Amazon.com di Amerika Serikat melalui
Internet, , ternyata kemudian buku- buku tersebut tidak pernah
dikirimkan atau tibanya sangat terlambat, atau dikirim dengan salah
alamat, yaitu misalnya menyimpang ke alamat lain, bahkan alamat lain itu
ada di Negara lain, misalnya ke Kuala Lumpur. Ke pengadilan mana
Gramedia harus melakukan gugatannya? Ke pengadilan Indonesia atau ke
pengadilan Amerika? Hukum mana yang harus diberlakukan oleh hakim,
apakah hukum Indonesia ataukah Hukum Amerika?[23]
Kesulitan- kesulitan yang timbul apabila terjadi sengketa antara para pihak di dalam transaksi e-commerce,
bukan saja menyangkut pilihan hukum yang akan diterapkan untuk
dijadikan dasar menyelesaikan sengketa yang timbul, tetapi juga mengenai
pilihan pengadilan yang akan memeriksa sengketa tersebut. Hal itu dapat
dihindari apabila para pihak menentukan di dalam perjanjian di antara
mereka pengadilan mana yang mereka pilih untuk menyelesaikan sengketa
yang mungkin timbul di kelak kemudian hari berkenaan dengan pelaksanaan
dan penafsiran perjanjian di antara mereka. Para pihak dapat pula
menentukan di dala perjanjian itu bahwa sengketa yang mungkin timbul di
kelak kemudian hari diselesaikan oleh suatu badan arbitrase, baik badan
arbitrase institusional maupun badan arbitrase ad hoc. Klausul dalam perjanjian yang mengatur mengenai hal ini disebut arbitration provisions atau klausul arbitrase.[24]
2. Perspektif UU No. 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen Dalam Penyelesaian Perkara Perlindungan Konsumen
Berdasarkan pasal 1 ayat (1) UUPK
menyebutkan bahwa “Perlindungan konsumen adalah segala upaya yang
menjamin adanya kepastian hukum untuk memberikan perlindungan kepada
konsumen”. Definisi ini ditegaskan menurut Az. Nasution menyebutkan
pengertian hukum perlindungan konsumen adalah keseluruhan asas- asas dan
kaidah- kaidah yang mengatur dan melindungi konsumen dalam hubungan dan
masalah penyediaan dan penggunaan produk barang/ jasa konsumen antara
penyedia dan penggunanya, dalam kehidupan bermasyarakat.
Pelaku usaha dalam UUPK adalah pelaku
usaha sebagai penyelenggara kegiatan usaha, dan konsumen sebagai
pengguna barang/ jasa, dimana menurut Pasal 1 angka (2) UUPK menyebutkan
bahwa “Konsumen adalah setiap orang pemakai barang dan/ atau jasa yang
tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga,
orang lain, maupun makhluk hidup lain dan tidak diperdagangkan”.
Konsumen yang dilindungi hukum di dalam Undang – Undang ini adalah
konsumen akhir.
Di dalam pasal 1 angka (3) UUPK, yang
dimaksud pelaku usaha adalah “Setiap orang perseorangan atau badan
usaha, baik yang berbentuk badan hukum maupun bukan badan hukum yang
didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum
Negara Republik Indonesia, baik sendiri maupun bersama- sama melalui
perjanjian menyelenggarakan kegiatan usaha dalam berbagai bidang
ekonomi”.
Sedangkan menurut penjelasan pasal 1
angka (3) UUPK, yang termasuk dalam pelaku usaha adalah “pelaku usaha
yang termasuk dalam pengertian ini adalah perusahaan, korporasi, BUMN,
importer, pedagan, distributor, dan lain- lain.
Dalam penerapan UU no. 8
tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen perlu diperhatikan asas- asas
yang dijelaskan dalam pasal 2 UUPK yang menyebutkan “perlindungan
konsumen berasaskan masnfaat, keadilan, serta keseimbangan, keamanan dan
keselamatan konsumen serta kepastian hukum”.
Asas- asas tersebut
dijelaskan dalam penjelasan pasal 2 UUPK yang menyebutkan perlindungan
konsumen diselenggarakan sebagai usaha bersama berdasarkan 5 (lima) asas
yang relevan dalam pembangunan nasional, yaitu:
1. Asas
manfaat dimaksudkan untuk mengamanatkan bahwa segala upaya dalam
penyelenggaraan perlindungan konsumen harus memberi manfaat sebesar-
besarnya bagi kepentingan konsumen dan pelaku usaha secara keseluruhan.
2. Asas
keadilan dimaksudkan agar partisipasi seluruh rakyat dapat diwujudkan
secara maksimal dan memberikan kesempatan kepada konsumen dan pelaku
usaha untuk memperoleh haknya dan melaksanakan kewajibannya secara adil.
3. Asas
keseimbangan dimaksudkan untuk memberikan keseimbangan antar
kepentingan konsumen, pelaku usaha, dan pemerintah dalam arti materiil
maupun spiritual.
4. Asas
keamanan dan keselamatan konsumen dimaksudkan untuk memberikan jaminan
atas kesamaan dan keselamatan kepada konsumen dalam penggunaan,
pemakaian, dan pemanfaatan barang dan/ atau jasa yang dikonsumsi atau
digunakan.
5. Asas
kepastian hukum dimaksudkan agar baik pelaku usaha maupun konsumen
menaati hukum dan memperoleh keadilan dalam penyelenggaraan perlindungan
konsumen, serta Negara menjamin kepastian hukum.
Untuk menginterpretasikan asas- asas
tersebut, maka perlu diketahui hak- hak dan kewajiban antara konsumen
dan pelaku usaha. Hak- hak dan kewajiban yang harus dipenuhi oleh
konsumen dan pelaku usaha tercantum di dalam pasal 4 sampai dengan pasal
7 UU No. 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.
Secara umum dikenal ada empat hak dasar konsumen menurut Gunawan Widjaja dan Ahmad Yani, yaitu “Hak untuk mendapatkan keamanan (the right to the safety), Hak untuk mendapat informasi (the right to be informed), hak untuk memilih the right to choose) dan hak untuk didengar (the right to be heard).[25]
Substansi hak dasar konsumen menurut
Gunawan Widjaja dan Ahmad Yani belum mencakup secara spesifik hak- hak
yang dapat dimiliki konsumen. Hal ini diperjelas dalam Pasal 4 UUPK,
mengenai hak konsumen adalah:
1. Hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamaatan dalam mengkonsumsi barang dan/ atau jasa.
2. Hak
untuk memilih barang dan/ atau jasa serta mendapatkan barang dan/ atau
jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang
dijanjikan.
3. Hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/ atau jasa.
4. Hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan/ atau jasa yang digunakan.
5. Hak untuk mendapatkan advokasi perlindungan, dan upaya penyelesaian sengketa perlindungan konsumen secara patut.
6. Hak untuk mendapatkan pembinaan dan pendidikan konsumen.
7. Hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif.
8. Hak
untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan/ atau penggantian, apabila
barang dan/ atau jasa yang diterima tidak dengan perjanjian atau tidak
sebagaimana mestinya.
9. Hak- hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundan- undangan lainnya.
Di dalam pasal 5 UUPK, diatur tentang kewajiban konsumen yaitu:
1. Membaca
atau mengikuti petunjuk informasi dan prosedur pemakaian atau
pemanfaatan barang dan/ jasa, demi keamanan dan keselamatan
2. Beritikad baik dalam melakukan transaksi pembelian barang dan/ jasa
3. Membayar sesuai dengan nilai tukar yang disepakati
4. Mengikuti upaya penyelesaian hukum sengeketa perlindungan konsumen secara patut
Di dalam pasal 6 UUPK, diatur tentang hak pelaku usaha yaitu:
1. Hak
untuk menerima pembayaran yang sesuai dengan kesepakatan mengenai
kondisi dan nilai tukar barang dan/ atau jasa yang diperdagangkan
2. Hak untuk mendapat perlindungan hukum dari tindakan konsumen beritikad tidak baik
3. Hak untuk mendapatkan pembelaan diri sepatutnya di dalam penyelesaian hukum sengketa konsumen
4. Hak
untuk rehabilitasi nama baik apabila terbukti secara hukum bahwa
kerugian konsumen tidak diakibatkan oleh barang dan/ atau jasa yang
diperdagangkan
5. Hak- hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundangan lainnya.
Di dalam pasal 7 UUPK, diatur tentang kewajiban pelaku usaha yaitu:
1. Beritikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya
2. Memberikan
informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan
barang dan/ atau jasa serta memberi penjelasan penggunaan, perbaikan dan
pemeliharaan
3. Memperlakukan atau melayani konsumen secara benar dan jujur dan tidak diskriminatif
4. Menjamin
mutu barang dan atau/atau jasa yang diproduksi dan/ atau diperdagangkan
berdasarkan ketentuan standar mutut barang dan/ atau jasa yang berlaku
5. Memberikan
konsumen untuk menguji dan/ atau mencoba barang dan/ atau jasa tertentu
serta memberi jaminan dan/ atau garansi atas barang yang dibuat dan/
atau yang diperdagangkan
6. Memberikan
kompensasi, ganti rugi, dan / atau penggantian apabila barang dan/ atau
jasa yang diterima atau dimanfaatkan tidak sesuai dengan perjanjian.
Untuk dapat dikatakan sebagai
Perbuatan Melawan Hukum berdasar Pasal 1365 KUHPerdata, suatu perbuatan
harus memenuhi unsur-unsur sebagai berikut :
a. Adanya perbuatan melawan hukum;
b. Adanya unsur kesalahan;
c. Adanya kerugian;
d. Adanya hubungan sebab akibat yang menunjukkan bahwa adanya kerugian disebabkan oleh kesalahan seseorang.
e. Adanya
unsur melawan hukum dimana suatu perbuatan melawan hukum memenuhi
unsur-unsur berikut : (1) Bertentangan dengan hak orang lain; (2)
Bertentangan dengan kewajiban hukumnya sendiri; (3) Bertentangan dengan
kesusilaan; (4) Bertentangan dengan keharusan yang harus diindahkan
dalam pergaulan masyarakat mengenai orang lain atau benda.
Menurut Prof. Wirjono dalam hukum
Perdata BW tidak perlu dihiraukan apa ada kesengajaan atau kurang
berhati-hati. Dalam hukum pembuktian dikenal suatu prinsip yang disebut
prinsip bewijsleer atau ajaran pembuktian yang menyatakan bahwa
barangsiapa yang mendalilkan itu kewajiban untuk membuktikan dalil dan
peristiwa dimaksud. Terutama dalam kasus tentang barang yang diproduksi
secara massal, maka konsumen selaku penggugat membuktikan bahwa produk
yang dimaksud dibeli produsen tersebut, siapa yang bertanggung gugat
atas tindakan yang lalai tersebut, serta tindakan itu merupakan tindakan
yang melanggar hukum dan ada unsur kesalahan serta adanya hubungan
sebab akibat yang menimbulkan kerugian dimaksud. Jadi terhadap kasus
tanggung gugat produsen atas produk yang menyebabkan sakit, cidera atau
mati/meninggalnya konsumen pemakai produk tersebut memerlukan adanya
pembuktian yang dimaksud. Pekerjaan pembuktian ini bukanlah suatu
pekerjaan yang mudah, apalagi bagi seorang konsumen yang awam hukum.
Membuktikan bahwa meninggalnya atau menjadi sakitnya seseorang karena
suatu makanan misalnya, memerlukan pemeriksaan laboratorium. Ini
tentunya memakan biaya, waktu dan tenaga yang tidak sedikit, oleh karena
itu pembuktian ini sama sekali tidak mudah atau sederhana.[26]
Selain itu, dalam penerapan hak dan
kewajiban yang harus dilakukan oleh konsumen dan pelaku usaha, terdapat
aturan yang terdapat dalam UUPK yang mengatur perbuatan yang dilarang
bagi para pelaku usaha diatur dalam Bab IV UUPK yang terdiri dari 10
pasal, dimulai dari pasal 8 sampai dengan pasal 17 yang diperuntukkan
agar terjadinya pertanggungjawaban hukum apabila terjadi kerugian yang
dialami oleh konsumen akhir.
Pasal 8 UUPK meliputi perbuatan
larangan kegiatan usaha dalam melaksanakan kegiatan produksi dan/atau
perdagangan barang dan jasa yang:
1. Tidak memenuhi atau tidak sesuai dengan standar yang dipersyaratkan dan ketentuan peraturan perundang- undangan
2. Tidak
sesuai dengan berat bersih, isi bersih atau netto dan jumlah dalam
htungan sebagaimana yang dinyatakan dalam label atau etiket barang
tersebut,
3. Tidak sesuai dengan ukuran, takaran, timbangan dan jumlah dalam hitungan menurut ukuran yang sebenarnya
4. Tidak
sesuai dengan kondisi, jaminan, keistimewaan atau kemanjuran
sebagaimana dinyatakan dalam label, etiket atau keterangan barang dan/
atau jasa tersebut
5. Tidak
sesuai dengan mutu, tingkatan, komposisi, proses pengolahan, gaya mode,
atau penggunaan tertentu sebagaimana dinyatakan dalam label atau
keterangan barang dan/ atau jasa tersebut
6. Tidak
sesuai dengan janji yang dinyatakan dalam label, etiket, keterangan,
iklan atau promosi penjualan barang dan/ atau jasa tersebut
7. Tidak mencantumkan tanggal kadaluarsa atau jangka waktu penggunaan/ pemanfaatan yang paling baik atas barang tersebut
8. Tidak mengikuti ketentuan berproduksi secara halal, sebagaimana pernyataan “halal” yang dicantumkan dalam label
9. Tidak
memasang label atau membuat penjelasan barang yang memuat nama barang,
ukuran, berat/ isi bersih atau netto, komposisi, aturan pakai, tanggal
pembuatan, akibat sampingan, nama dan alamat pelaku usaha serta
keterangan lain untuk penggunaan yang menyurut ketentuan harus dipasang/
dibuat
10. Tidak mencantumkan informasi dan/ atau petunjuk penggunaan barang dalam bahasa Indonesia sesuai dengan ketentuan yang berlaku
Apabila pelaku usaha dalam menjalankan
usahanya melanggar larangan- larangan dan atau menumbulkan kerusakan,
pencemaran dan/ atau kerugian kepada konsumen akibat mengkonsumsi barang
dan/ atau jasa yang diperjual belikan maka pelaku usaha tersebut
bertanggung jawab memberikan ganti rugi. Ganti rugi tersebut dapat
berupa pengembalian uang atau penggantian barang dan atau jasa sejenis
atau secara nilainya atau perawatan kesehatan dan/ atau pemberian
santunan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan yang
berlaku. Pemberian ganti rugi dilaksanakan dalam tenggang waktu 7
(tujuh) hari setelah tanggal transaksi (lihat pasal 19 UUPK). Disamping
itu pelaku usaha periklanan juga bertanggung jawab atas iklan yang
diproduksi dan segala akibat yang ditimbulkan oleh iklan tersebut (pasal
20 UUPK).[27]
Apabila telah terjadi suatu sengketa
yang terjadi antara pelaku usaha dengan konsumen terkait pemberian
sesuatu, berbuat sesuatu atau tidak berbuat sesuatu sebagaimana diatur
dalam pasal 1233 Jo 1234 KUH Perdata atau dapat pula berbagai kombinasi
dari prestasi tersebut. Objek sengketa konsumen dalam hal ini dibatasi
hanya menyangkut produk konsumen yaitu barang atau jasa yang pada
umumnya digunakan untuk keperluan rumah tangganya dan tidak untuk tujuan
komersial.[28]
Pasal 23 UUpk menyebutkan bahwa
apabila pelaku usaha pabrikan dan/ atau pelaku usaha distributor menolak
dan/ atau tidak memberi tanggapan dan/ atau tidak memenuhi ganti rugi
atas tuntutan konsumen, maka konsumen diberikan hak untuk menggugat
pelaku usaha dan menyelesaikan perselisihan yang timbul melalui Badan
Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) atau dengan cara mengajukan
gugatan kepada peradilan di tempat kedudukan konsumen tersebut.[29]
Pernyataan tersebut sejalan dengan Pasal 45 UUPK:
1. Setiap
konsumen yang dirugikan dapat menggugat pelaku usaha melalui lembaga
yang bertugas menyelesaikan sengketa antara konsumen dan pelaku usaha
atau melalui peradilan yang berada di lingkungannya.
2. Penyelesaian
sengketa konsumen dapat ditempuh melalui pengadilan atau di luar
pengadilan berdasarkan pilihan sukarela pihak yang bersengketa
3. Penyelesaian
sengketa di luar pengadilan sebagaimana dimaksud pada angka (2) tidak
menghilangkan tanggung jawab pidana sebagaimana diatur dalam undang-
undang
4. Apabila
telah dipilih upaya sengketa konsumen di luar pengadilan gugatan
melalui pengadilan hanya dapat ditempuh apabila upaya tersebut
dinyatakan tidak berhasil oleh salah satu pihak atau oleh para pihak
yang bersengketa
BAB III
PENUTUP
1. Kesimpulan
Berdasarkan uraian pembahasan tersebut diatas, dapat disimpulkan hal- hal sebagai berikut antara lain:
Terdapat beberapa permasalahan dalam transaksi e-commerce di Indonesia yang menimbulkan berbagai pertanyaan atau masalah yuridis antara lain:
1. Penggunaan domain name
2. Alat bukti
3. Pengakuan pemberitahuan e-mail sebagai pemberitahuan tertulis (written notice).
4. Pembajakan internet (Internet piracy) berkaitan dengan HAKI
5. Perlindungan bagi konsumen dalam transaksi e-commerce
6. Pajak atas transaksi e-commerce yang dilakukan oleh para pihak
7. Hubungan hukum antara pihak pihak yang melakukan transaksi e-commerce
8. Perlindungan terhadap the right to piracy
9. Pilihan hukum (choice of forum) yaitu pilihan mengenai pengadilan mana yang berwenang menyelesaikan sengketa di antara para pihak yang melakukan transaksi e-commerce
Banyaknya kasus yang merugikan
konsumen dalam transaksi jual beli antara pelaku usaha sebagai
penyelenggara usaha barang dan/ atau jasa, dan konsumen sebagai pengguna
barang dan/ atau jasa maka dibentuklah UU Nomor 8 Tahun 1999 tentang
perlindungan konsumen yang di dalamnya diatur secara spesifik pasal-
pasal yang mengatur mulai dari definisi konsumen, pelaku usaha, sampai
ketentuan penutup.
Berdasarkan UUPK, upaya penyelesaian sengketa konsumen terdapat dua pilihan yaitu:
1. Melalui lembaga yang bertugas menyelesaikan sengketa antara konsumen dan pelaku usaha (dalam hal ini BPSK), atau
2. Melalui peradilan yang berada di lingkungan peradilan umum.
2. Saran
Untuk menanggulangi tindak pidana
dalam transaksi elektronik dan kaitannya dengan perlindungan konsumen,
diperlukan peningkatan sumber daya manusia baik itu dalam penyidikan
tindak pidana yang masuk ke dalam ranah kewenangan instansi Polri
sebagai penyidik untuk mengungkap kasus kejahatan yang terjadi dan
ketegasan hukum yang memperhatikan keadilan dan kepastian masyarakat di
saat masuk ke peradilan umum karena pada dasarnya tujuan hukum untuk
memberikan rasa keadilan, kepastian, dan kemanfaatan bagi masyarkat
terkhusus bagi konsumen akhir selaku korban. Selain itu, penulisan ini
diharapkan dapat menjadikan masukan bagi instansi Polri dalam mengungkap
kejahatan cyber crime dan lingkungan system pradilan pidana dalam ranah
peradilan umum serta para penulis lain untuk dijadikan bahan penelitian
lanjut apabila masih ada kekurangan dalam substansinya.
DAFTAR PUSTAKA
Referensi Buku :
Az. Nasution, Dkk, Naskah Akademik Peraturan Perundang-Undangan Dalam Hal Makanan Dan Minuman, Jakarta : BPHN, 1994,
Henry Campbell Black, Black’s Law Dictionary, St. Paul Mini : West Publishing, Co. 1983.
Henry Campbell Black, Black’s Law Dictionary, St. Paul Mini : West Publishing, Co. 1983.
Delta, George B, Jeffrey H Matsuura, Law Of The Internet, Aspenlaw & Business, 2000.
Ding, Julian, E- Commerce: Law And Office, Malaysia: Sweet And Maxwell Asia, 1999.
International, Bna Inc, World Internet Law Report, London: Vol 1 Issue 12, 2000.
Kiat, Toh See, Law Of Telematics Data Interchange, Singapore: Butterworths Asia, 1992.
Mansur, Didik M Arief, Elisatris Gultom, Cyber Law: Aspek Hukum Teknologi Informasi
Mantri, Bagus Hanindyo, Perlindungan
Hukum Terhadap Konsumen Dalam Transaksi E-Commerce, Tesis, Semarang:
Universitas Diponegoro, 2007.
Mertokusumo, Sudikno, Mengenal Hukum, Yogyakarta: Liberty, 1990.
Muhammad, Abdulkadir, Hukum Perikatan, Bandung: Alumni, 1982.
Muhammad, Abdulkadir, Mengenal Hukum Perdata Indonesia, Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 1993.
Sjahdeini, Sutan Remy, Bank Indonesia
Penggerak Utama Reformasi Peraturan Perundang- Undangan Perbankan,
Pidato Pengukuhan Sebagai Guru Besar Dalam Mata Pelajaran Ilmu Hukum
Perbankan Pada Fakultas Hukum Airlangga Di Surabaya Pada Tanggal 16
November 1996.
Subekti, Hukum Acara Perdata, Bandung : Binacipta, 1982.
Susanto, Happy, Hak- Hak Konsumen Jika Dirugikan, Yogyakarta: Visi Media, 2008.
Tribune, International Harold, No 36,569 (Cetakan Indonesia), 2000.
Widjaja, Gunawan, Ahmad Yani, Hukum Tentang Perlindungan Konsumen, Jakarta: Pt Gramedia Pustaka Utama, 2001.
Wirjono, Prodjodikoro, Hukum Perdata, Jakarta: Sinar Grafika, 1998.
Sumber Internet :
Iman, Nofie, Mengenal E-Commerce, Www.Hasan-Uad.Com/?=System/Files/Mengenal-E-Commerce.Pdf
Irfansah, Mukhlis, Hubungan Hukum
Antara Pelaku E-Commerce Harus Diperjelas,
Www.Iptek.Net.Id/Ind/?Mnu=5&Ch=Regulasi&Id=248
Http://Jurnal-Sdm.Blogspot.Com/2009/08/E-Commerce-Definisi-Jenis- Tujuan.Html
Sjahdeini, Sutan Remy, E-Comerce: Tinjauan Dari Perspektif Hukum, Www.Underlaw98.Tripod/Azam2.Pdf
Sumber Perundang- Undangan :
Kitab Undang- Undang Hukum Acara Perdata
Undang- Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen
Undang- Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi Dan Transaksi Elektronik
[2] Happy Susanto, Hak- Hak Konsumen Jika Dirugikan, Visi Media, Yogyakarta, 2008, h.3.
[3] Sudikno Mertokusumo, 1990, Mengenal Hukum, Yogyakarta, Liberty, Hal.97.
[4] Abdulkadir Muhammad, 1982, Hukum Perikatan, Bandung, Alumni, Hal.20.
[5] Julian Ding, 1999, E-Commerce: Law and Office, Malaysia, Sweet and Maxwell Asia, Hal. 25.
[6] Didik M Arief Mansur dan Elisatris Gultom, Cyber Law: Aspek Hukum Teknologi Informasi, Hal. 152.
[7] Mariam Darus Badzrulzaman et al, op.cit. h. 65.
[8] Abdulkadir Muhammad, Hukum Perdata Indonesia, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 1993, h.225.
[9] Nofie Iman, Mengenal E-Commerce, www.hasan-uad.com/?=system/files/mengenal-e-commerce.pdf, h.5.
[10] Happy Susanto, Hak- Hak Konsumen Jika Dirugikan, Visi Media, Yogyakarta, 2008, Hal.29.
[11] Mukhlis
Irfansah, SH. Hubungan Hukum Antara Pelaku E-Commerce Harus Diperjelas.
www.iptek.net.id/ind/?mnu=5&ch=regulasi&id=248
[12] Ibid.
[13] Ibid.
[14] Ibid.
[15] Ibid.
[16] Prof. Dr. Sutan Remy Sjahdeini, SH. E-Commerce: Tinjauan Dari Perspektif Hukum. www.underlaw98.tripod.com/azam2.pdf. Hal 5
[17] Toh See Kiat. Law of Telematic Data Interchange. Singapore: Butterworths Asia, 1992. P.224 et al. Baca pula Sutan Remy Sjahdeni. Bank Indonesia Penggerak Utama Reformasi Peraturan Perundangan Perbankan. Pidato
Pengukuhan Sebagai Guru Besar Dalam Mata Pelajaran Ilmu Hukum Perbankan
pada Fakultas Hukum Airlangga di Surabaya pada tanggal 16 November
1996. Hal. 18.
[18] George B. Delta &Jeffrey H. Matsuura. Law of The Internet. Aspen Law & Business. 2000. P. 53.
[19] BNA International Inc, London. World Internet Law Report. Vol 1, Issue 12. Septermber 2000. Hal 8-9.
[20] International Harold Tribune, No. 36,569 (Cetakan Indonesia), 29 September 2000.
[21] Magdalena Ye’il. Op. cit, p. 207.
[22] Magdalena Ye’il. Loc. Cit.
[23] Prof. Dr. Sutan Remy Sjahdeini, SH. Ibid. Hal. 12
[24] Ibid. Hal 13.
[25] Gunawan Widjaja dan Ahmad Yani, 2001, Hukum tentang Perlindungan Konsumen, PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta hal. 27-28.
[26] Prof. Wirjono Prodjodikoro, Hukum Perdata, Jakarta.
[27] Bagus Hanindyo Mantri, SH. Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen dalam Transaksi E-commerce. Tesis. Universitas Diponegoro. 2007. Hal 41.
[28] Ibid. Hal 44.
[29] Ibis. Hal 45.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar